Apakah pemerintah siap ?
Health Policy atau kebijakan kesehatan harusnya menjadi cara berfikir (the way of thinking) bagi para pembuat keputusan atau pengambil kebijakan di pusat maupun daerah yang kemudian harus diikuti oleh pelaksana pelayanan kesehatan. Masalahnya adalah Health policy seringkali atau hampir selalu dipengaruhi oleh Real (power) politics. Sebagai contoh, pelaksanaan pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin (Askeskin) yang dimulai sejak tahun 2005, adalah kebijakan kesehatan yang sangat menguntungkan rakyat miskin dan merupakan penterjemahan dari Undang-undang SJSN (40/2004). Tetapi pelaksanaannya cenderung dipaksakan ! Seharusnya sebelum dilakukan reformasi dalam sektor pembiayaan kesehatan terlebih dahulu harus dilakukan reformasi dalam sisitim pelayanan kesehatan. Akibatnya sistim pelayanan kesehatan kewalahan dalam menampung lonjakan dari akses 76,4 juta orang miskin yang berhak menggunakan fasilitas Askeskin (Jamkesmas) ke sarana kesehatan. Sistim rujukan tidak berjalan, sehingga seseorang yang seharusnya dapat ditangani di RJTP (rawat jalan tingkat pertama), dengan biaya (unit cost) Rp 4000-5000/kunjungan , tanpa rujukan , langsung berobat ke RJTL (rawat jalan tingkat lanjut) dengan biaya Rp.100.000-150.000/kunjungan. Dapat dilihat bahwa dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi lonjakan APBN bidang kesehatan dari Rp 5,294 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp 13,523 triliun pada tahun 2006 pada tahun 2005 sebesar Rp11,1 triliun, tahun 2006 Rp 13,9 triliun, tahun 2007 sebesar Rp18,7 triliun, dan pada tahun 2008 sebesar Rp19,7 triliun. Tahun 2012 APBN kesehatan menjadi 48 triliun Bayangkan berapa besar dana yang dapat dihemat bilamana reformasi pelayanan kesehatan didahulukan, sistim rujukan diperbaiki, dilakukan desentralisasi pelayanan kesehatan canggih! Mengapa seolah-olah kebijakan kesehatan ini dipaksakan ? Jelas ada keuntungan politik (real politic) dalam kebijakan ini. Bukankah jumlah 76,4 juta rakyat miskin merupakan > 30% suara pemilih dalam pemilihan presiden tahun 2009. Pada tahun 2011 direncanakan 240 juta rakyat Indonesia akan masuk asuransi kesehatan. Bukankah itu suara yang sangat besar untuk memenangkan pemilu ?? Jika asuransi kesehatan sosial diterapkan di suatu negara tanpa mempertimbangkan tujuannya sebagai bagian dari kebijakan kesehatan dan diimplementasikan dengan tidak hati-hati serta tanpa persiapan yang matang, maka hanya akan menuai kegagalan” (Norman, A. Webber)
Seandainya pada tahun 2014 nanti 240 juta rakyat diharuskan (secara undang-undang) masuk sistim asuransi ini. Apakah perintah siap? Memang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) sudah terbentuk dengan undang-undang BPJS tahun 2011. Pada tanggal 31 Desember 2013 rencananya PT Askes, PT Jamsostek, PT Asabri akan dibubarkan dan melebur menjadi BPJS 1 yang antara lain mengurus asuransi kesehatan semesta (Universal coverage). Tapi apakah rencana ini sudah cukup disosialisasikan ? Apakah kita para dokter, rakyat dan komponen masyarakat cukup mendapat informasi? Menurut UU SJSN 2004 . Semua orang harus punya asuransi. Rakyat miskin asuransinya dibayar oleh pemerintah. Sedang rakyat yang tidak miskin, setengah kaya atau sangat kaya harus membayar premi. Tapi berapa premi yang harus kita bayar dan bagaimana cara bayarnya ? Nampaknya pemerintah belum berfikir kearah itu.
Seandainya 240 juta rakyat Indonesia bisa berobat gratis semuanya. Berapa tempat tidur rumah sakit yang diperlukan, berapa dokter umum atau spesialis diperlukan. Walaupun sudah ada hitungannnya. Bagaimana caranya mencapai dokter dan fasilitas kesehatan sejumlah itu pada tahun 2014 ?
Menurut anda bagaimana caranya kita membantu pemerintah seandainya pemerintah belum siap untuk itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar