it's never too late

it's never too late

Rabu, 04 Januari 2012

Seandainya seluruh rakyat Indonesia digratiskan biaya pengobatannya APAKAH KITA SEMUA SIAP ? BAGIAN EMPAT

Apakah Sistim Pelayanan Kesehatan SIAP ?

Saat ini sistim pelayanan kesehatan samasekali tidak ter-struktur . Pasien bebas menentukan kemana dia akan berobat. Ke dokter umum, spesialis atau super spesialis. Ke puskesmas, rumah sakit atau rumah sakit rujukan. Hal ini terjadi karena kebanyakan pasien membayar biaya pengobatannya dari katungnya sendiri (out of pocket money) dan lemahnya kemampuan dalam penatalaksanaan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri (poor management of resources and services). Akibatnya  akan terjadi  kenaikan biaya akibat penerapan teknologi canggih (supply induced demand’) . Setiap sarana kesehatan seolah berlomba menyediakan pemeriksaan canggih, dengan akibat utilisasi rate-nya rendah sehingga unit cost-nya meningkat. Sistim rujukan tidak berjalan dan tidak ter-struktur, sehingga rumah sakit (rujukan) menjadi puskesmas raksasa. Penyakit yang sebenarnya dapat ditangani di puskesmas (dengan biaya rendah) ditangani di rumah sakit (dengan biaya tinggi).  Kenyataannya memang pengelolaan sarana kesehatan (Rumah Sakit) lebih cenderung menganut mekanisme pasar. Buktinya jumlah rumah sakit di kota-kota besar yang notabene penghasilan penduduknya tinggi lebih banyak dibanding daerah-daerah yang penduduknya berpenghasilan rendah. Data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menunjukkan bahwa rumah sakit yang dikelola pihak swasta pada tahun 2005 berjumlah 626 unit atau 49,4 persen dari keseluruhan rumah sakit yang ada di Indonesia. Sementara rumah sakit yang dikelola pemerintah (Depkes dan Pemda) jumlahnya hanya 452 unit. RS yang dikelola TNI dan Polri lebih sedikit lagi, hanya 112 unit, dan RS yang dikelola BUMN dan departemen lain berjumlah 78 unit.  

Bukan hanya itu , SDM kesehatan (dokter dan dokter spesialis) tertumpuk di kota-kota besar. Karena uang memang beredar di kota-kota besar. Pasien yang potensial membayar berada disitu. Akibatnya didaerah kekurangan dokter. Puskesmas kekurangan dokter umum. Biasanya hanya satu, padahal lebih sering ikut rapat dengan pak Camat. Akibatnya pelayanan kesehatan di Puskesmas tidak bermutu. Pasien lebih sering dirujuk ke rumah sakit padahal tidak perlu. Keadaan semacam ini menjadikan biaya pelayanan kesehatan menjadi sangat tinggi. Sebagai contoh untuk penyakit yang sama. Unit cost di Puskesmas hanya sekitar Rp. 5000. Tetapi kalau dirujuk ke rumah sakit biayanya menjadi sekitar Rp. 130.000.  Beban biaya ini akan ditanggung oleh masyarakat untuk pasien non-miskin dan APBN/APBD untuk pasien miskin. Itu mungkin salah satu sebab mengapa APBN kesehatan naik dari sekitar Rp 4 triliun pada tahun 2005 menjadi lebih dari 48 triliun pada tahun 2012. Padahal mutu pelayanan kesehatan tidak berbeda jauh.

Saat ini baru sekitar 100 juta orang yang menggunakan fasilitas Askes, Jankesmas atau Jamkesda. Bila pada tahun 2014 lebih dari 240 juta penduduk mempunyaiu akses ke pelayanan kesehatan sedangkan  sistim rujukan dan rujuk balik tidak berjalan. Maka itu adalah BENCANA !

Sistim rujukan dan rujuk balik adaha hal yang mutlak diperlukan pada suatu sistim asuransi sosial ! Dengan menambah peserta asuransi (pra-bayar) dan mengurangi pembiayaan tunai (fee for service) , regulator kesehatan (Dinas Kesehatan) dapat melakukan reformasi dengan melakukan desentralisasi sarana kesehatan dengan  sistim rujukan yang berjenjang dengan cara , antara lain :

(a)       Distribusikantenaga kesehatan (dokter umum) merata dalam pelayanan kesehatan tahap dasar dengan sistim kapitasi dengan  paradigma sehat. Mereka tidak usah takut kekurangan pasien,karena sistimnya kapitasi.
(b)      Meningkatkan sarana dan fasilitas di puskesmas, puskesmas perawatan, PONED,dll
(c)       Distribusi dokter spesialis (Sp1 dan Sp2) ke Rumah Sakit jejaring pendidikan (pemerintah atau swasta), bekerjasama dengan institusi pendidikan SDM bidang kesehatan.
(d)      Meningkatkan sarana dan fasilitas di RSUD menjadi setingktat RS tipe B atau bahkan tipe  A.
(e)      Meningkatkan peranan BP/RS swasta
(f)        Memberlakukan sistim rujukan secara ketat , dari pelayanan tingkat dasar (puskesmas) ,ke RSUD, (rujukan daerah) dan ke RSUP (RS rujukan utama), dalam bentuk lingkaran (outer -ring).
(g)       Melakukan regulasi terhadap penggunaan dan penempatan alat diagnostik canggih
(h)      Meningkatkan upaya pencegahan (UKM) untuk penyakit menular dan tidak menular/degenerative , dalam rangka mengantisipasi beban ganda (double burden) penyakit .

Semua usaha diatas diharapkan akan dapat menurunkan biaya pelayanan kesehatan serta distribusi pelayanan yang merata dan berkualitas. Agar menarik dan segera dapat mencapai sasaran, reformasi pelayanan kesehatan pada awalnya dapat dilakukan dengan cara “rewards & punishment”,, misal :
(a)       Untuk pasien : Bila pasien datang ke sarana kesehatan tanpa rujukan maka kartu asuransinya tidak berlaku. Tetapi bila ada rujukan akan disediakan/diberikan biaya pengganti transportasi.
(b)      Untuk dokter : Dokter yang dinilai baik bekerja di Puskesmas akan diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan spesialis dengan dibiayai pemerintah (Pusat/Daerah).

Tetapi apakah Kementrian Kesehatan siap menerapkan sistim ini diseluruh Indonesia. Apakah masyarakat siap menghadapi sistim “rewards” dan “punishment” bila sistim rujukan dijalankan dengan ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar